Translate here

Selasa, 19 Maret 2013

Di Balik Kejar Tayang Kurikulum 2013

Pro dan kontra penerapan kurikulum baru pada 2013 masih mewarnai akhir tahun 2012 meski dalam waktu enam bulan ke depan produk kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) itu rencananya sudah harus diimplementasikan secara bertahap di sejumlah jenjang pendidikan.

Kontroversi rencana penerapan kurikulum pendidikan baru pada 2013 belum dapat diredam. Sejak pertengahan 2012, pemerintah mengumumkan akan melakukan perubahan kurikulum secara signifikan sebagai salah satu faktor terpenting yang akan meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional. Meski ada sejumlah pihak yang mendukung perubahan, tidak sedikit pula yang memilih skeptis, bahkan terang-terangan menolak rencana tersebut.

Penolakan muncul dari sejumlah pengamat pendidikan, guru, kepala sekolah, organisasi profesi guru, bahkan Komisi X DPR RI sebagai wakil rakyat yang membidangi pendidikan di parlemen.

Paling baru adalah tarik-ulur soal anggaran kurikulum 2013 antara parlemen dan pemerintah yang semakin sengit. Pemerintah berkeras memilih jalan terus dengan rencana penerapan kurikulum di 2013 meski di satu sisi, DPR, melalui Panja Kurikulum yang dibentuk Februari 2012 lalu, ngotot menahan beberapa anggaran yang peruntukannya terkait kurikulum. "Konsep kurikulum ini masih gelap gulita, tidak jelas arahnya mau dibawa ke mana. Sebaiknya ditunda dulu," kata Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR RI.

Dari anggaran kurikulum sebesar 513 miliar rupiah yang melekat di APBN 2013, ada dua pos yang sudah resmi dibintangi, yakni anggaran untuk pelatihan guru dan pembuatan buku pegangan untuk murid dan guru. "Anggaran masih kami tahan karena Panja masih bekerja. Keputusan anggaran akan menunggu hasil rekomendasi Panja," tegas politisi dari Fraksi Partai Golkar itu.

Secara keras, Ferdi mengungkapkan bahwa pemerintah terlalu ambisius mengejar waktu tayang kurikulum pada tahun ajaran baru tahun depan, sekitar Juni 2013. Padahal untuk produk kebijakan nasional sebesar dan sepenting kurikulum, dibutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang.

Persoalan kesiapan guru adalah yang paling mencolok. Guru yang rata-rata kualitasnya masih di bawah standar (berdasarkan hasil UKA dan UKG) itu dipaksa siap dalam waktu enam bulan untuk mentransfer ilmu dalam bingkai kurikulum baru. Padahal dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang saat ini masih berlaku saja, dulunya dibutuhkan waktu minimal tiga tahun untuk persiapan, termasuk menyiapkan tenaga guru sebelum diimplementasikan.

"Pemerintah superambisius, menggampangkan persoalan. Nanti anak didik yang jadi korban gagal pakainya kurikulum," tegas dia.

Perubahan kurikulum juga dinilai terburu-buru oleh sejumlah pengamat pendidikan, di antaranya Sekretaris Eksekutif Kongres Wali Gereja Indonesia (KWI), Benny Susetyo. Pria yang akrab disapa Romo Benny ini khawatir peserta didik hanya akan menjadi kelinci percobaan kurikulum baru.

"Mengubah kurikulum tidak mudah, dan butuh waktu yang tidak singkat. Jika dipaksakan begini, nantinya anak didik yang akan jadi korban, menjadi kelinci percobaan," tegas Benny.

Benny menilai perubahan kurikulum dilakukan secara gegabah tanpa mengevaluasi kinerja kurikulum sebelumnya (KTSP) yang baru berjalan sejak 2006.

"Sekarang bagaimana kita mau memperbaiki kondisi pendidikan melalui kurikulum kalau kekurangan kurikulum yang sebelumnya saja kita belum tahu, tidak pernah ada evaluasi kurikulum yang lama?" papar dia.

Secara tegas, Benny menuntut adanya riset mendalam dan uji coba sebelum kurikulum diterapkan. "Jangan hanya uji publik, kita sama-sama tahu uji publik itu hanya formalitas," tandas dia.

Ia juga menyinggung soal kesiapan guru, yang untuk sosialisasi dan pelatihan maksimal mustahil bisa dilakukan dalam waktu enam bulan meski pemerintah akan menggunakan sistem pelatihan berantai, di mana akan memilih 45 ribu untuk dilatih dan dijadikan guru master.

"Pemerintah menyepelekan persoalan. Sebuah kurikulum itu butuh waktu untuk disosialisasikan. Guru-gurunya harus dilatih untuk benar-benar paham isi kurikulum seperti apa, tujuannya apa, dan waktu enam bulan itu bisa dapat apa," kata dia.

Komentar senada disampaikan Febri Hendri, Koordinator ICW bidang Pelayanan Publik. Menurut dia, kurikulum baru tidak menjamin adanya perbaikan sistem pendidikan nasional secara signifikan.

Menurut dia, buruknya sistem pendidikan nasional terletak pada kualitas guru dan sarana-prasarananya. "Anggaran untuk kurikulum yang ratusan miliar itu lebih baik dimaksimalkan saja untuk perbaikan kualitas guru dan sarana prasarana pendidikan. Itu yang darurat," tegas Febri.

Sejumlah guru, kata Febri, juga mengadukan keluhan serupa kepada ICW. Menurut dia, guru masih bingung akan dibawa ke mana kurikulum baru tersebut. "Implementasinya rumit, perlu waktu untuk mempersiapkan lebih matang," cetus Febri.

Guru Instrumen Penting

Dalam kesempatan terpisah, Mendikbud, Mohammad Nuh, menangkap kegelisahan sejumlah pihak menjelang kelahiran kurikulum baru 2013 tersebut. Ia pun sepakat bahwa kunci keberhasilan kurikulum tersebut berada pada kesiapan guru. "Betul, guru sebagai instrumen pelaksana kurikulum yang sangat penting," tegas Nuh.

Untuk alasan itu pula, mantan Rektor ITS Surabaya itu nekat menggenjot persiapan guru dalam waktu enam bulan ke depan. "Pembinaan dan pelatihan selama enam bulan itu cukup, dimulai Januari hingga Juni," ungkap dia.

Sempitnya waktu akan disiasati dengan menggunakan sistem pendekatan master teacher. Pelatihan pertama akan diberikan pada guru yang memiliki kualitas dan kompetensi baik. "Dilihat dari hasil UKA dan UKG, dipilih guru-guru yang nilainya tinggi. Guru pilihan itulah yang akan membina guru lainnya," jelas Nuh.

Pembinaan hanya akan dilakukan kepada sebagian guru yang mengampu dan mengajar di kelas I, IV,VII, dan X. "Karena sesuai skenario sementara, penerapannya bertahap, di tahun pertama hanya di beberapa jenjang kelas," terang mantan Menkominfo ini.

Pendapat berbeda datang dari pengamat pendidikan, Arief Rachman, yang juga guru besar di Universitas Negeri Jakarta. Arief memilih untuk tidak menolak mentah-mentah rencana perubahan kurikulum tersebut.

Menurut dia, poin terpenting dari perubahan ini adalah masih terbukanya masukan dari masyarakat untuk sama-sama membangun dan menyempurnakan kurikulum baru tersebut. Sebab menurut dia, pada dasarnya kurikulum baru bisa saja menjadi tepat jika diterapkan di kelas 1 hingga kelas 3 SD.

"Saya melihat, dengan kurikulum baru akan meningkatkan minat belajar anak pada bidang-bidang tertentu, seperti IPA. Sebab anak tidak dipaksa melihat sebuah mata pelajaran secara holistik, namun lebih menyenangkan," ujar dia.

Penyederhanaan jumlah mata pelajaran juga dinilai menjadi poin positif dari perubahan kurikulum ini. Hanya saja, dengan sejumlah perubahan, pemerintah diharapkan memiliki peran yang lebih besar, terutama terkait pengawasan bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa. "Bahan ajar harus terkontrol, apalagi setelah sejumlah kejadian adanya materi di buku-buku pelajaran yang tidak layak masuk sekolah," imbuh dia.

Sentralisasi bahan ajar ini, menurut Arief, perlu didukung agar dapat menjamin pencapaian pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak. Terkait peran guru, dinilainya pekerjaan guru juga akan menjadi lebih ringan. S sebab guru tidak lagi diwajibkan membuat silabus mata pelajaran, dan tugas guru hanya mengajar. "Guru memiliki ruang yang lebih leluasa untuk mengelola bahan ajar menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk disampaikan," jelasnya.

Dengan kurikulum baru, kata Arief, proses pembelajaran akan menjadi satu hal penting yang harus diperhatikan guru. Tidak lagi hanya berorientasi pada hasil-hasil Ujian Nasional dan evaluasi akhir lainnya. "Guru diharapkan dapat mendorong anak berkembang sesuai dengan potensi dan membentuk karakter anak shingga memiliki minat pada pelajaran," papar Arief.

Pengembangan kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan nasional. Di samping kurikulum, terdapat sejumlah faktor, di antaranya lama siswa bersekolah, lama siswa tinggal di sekolah, pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi, buku pegangan, atau buku babon, dan peranan guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan.

Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35 tentang kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.

Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.

Pengintegrasian sejumlah mata pelajaran sebagai akibat dari pemangkasan jumlah mata pelajaran menjadi salah satu topik yang banyak menjadi sorotan masyarakat dalam uji publik yang baru berakhir 23 Desember 2013 kemarin.

Terlepas dari pro dan kontra kurikulum, pemerintah menegaskan bahwa pengembangan kurikulum mutlak dilakukan untuk mengantisipasi tantangan zaman yang kian kompetitif.

Semoga dengan penerapankurikulum baru dapat menjawab serta menjadi solusi permasalahan yang ada dilapangan dan dapat memperbaiki sistem serta output pendidikan di negara Indonesia...
sumber :  http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/108772

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah berkomentar