Pro dan kontra penerapan kurikulum baru pada 2013 masih
mewarnai akhir tahun 2012 meski dalam waktu enam bulan ke depan produk
kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) itu
rencananya sudah harus diimplementasikan secara bertahap di sejumlah
jenjang pendidikan.
Kontroversi rencana penerapan kurikulum
pendidikan baru pada 2013 belum dapat diredam. Sejak pertengahan 2012,
pemerintah mengumumkan akan melakukan perubahan kurikulum secara
signifikan sebagai salah satu faktor terpenting yang akan meningkatkan
kualitas sistem pendidikan nasional. Meski ada sejumlah pihak yang
mendukung perubahan, tidak sedikit pula yang memilih skeptis, bahkan
terang-terangan menolak rencana tersebut.
Penolakan muncul dari
sejumlah pengamat pendidikan, guru, kepala sekolah, organisasi profesi
guru, bahkan Komisi X DPR RI sebagai wakil rakyat yang membidangi
pendidikan di parlemen.
Paling baru adalah tarik-ulur soal
anggaran kurikulum 2013 antara parlemen dan pemerintah yang semakin
sengit. Pemerintah berkeras memilih jalan terus dengan rencana penerapan
kurikulum di 2013 meski di satu sisi, DPR, melalui Panja Kurikulum yang
dibentuk Februari 2012 lalu, ngotot menahan beberapa anggaran yang
peruntukannya terkait kurikulum. "Konsep kurikulum ini masih gelap
gulita, tidak jelas arahnya mau dibawa ke mana. Sebaiknya ditunda dulu,"
kata Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR RI.
Dari anggaran
kurikulum sebesar 513 miliar rupiah yang melekat di APBN 2013, ada dua
pos yang sudah resmi dibintangi, yakni anggaran untuk pelatihan guru dan
pembuatan buku pegangan untuk murid dan guru. "Anggaran masih kami
tahan karena Panja masih bekerja. Keputusan anggaran akan menunggu hasil
rekomendasi Panja," tegas politisi dari Fraksi Partai Golkar itu.
Secara
keras, Ferdi mengungkapkan bahwa pemerintah terlalu ambisius mengejar
waktu tayang kurikulum pada tahun ajaran baru tahun depan, sekitar Juni
2013. Padahal untuk produk kebijakan nasional sebesar dan sepenting
kurikulum, dibutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang.
Persoalan
kesiapan guru adalah yang paling mencolok. Guru yang rata-rata
kualitasnya masih di bawah standar (berdasarkan hasil UKA dan UKG) itu
dipaksa siap dalam waktu enam bulan untuk mentransfer ilmu dalam bingkai
kurikulum baru. Padahal dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang saat ini masih berlaku saja, dulunya dibutuhkan waktu
minimal tiga tahun untuk persiapan, termasuk menyiapkan tenaga guru
sebelum diimplementasikan.
"Pemerintah superambisius, menggampangkan persoalan. Nanti anak didik yang jadi korban gagal pakainya kurikulum," tegas dia.
Perubahan
kurikulum juga dinilai terburu-buru oleh sejumlah pengamat pendidikan,
di antaranya Sekretaris Eksekutif Kongres Wali Gereja Indonesia (KWI),
Benny Susetyo. Pria yang akrab disapa Romo Benny ini khawatir peserta
didik hanya akan menjadi kelinci percobaan kurikulum baru.
"Mengubah
kurikulum tidak mudah, dan butuh waktu yang tidak singkat. Jika
dipaksakan begini, nantinya anak didik yang akan jadi korban, menjadi
kelinci percobaan," tegas Benny.
Benny menilai perubahan
kurikulum dilakukan secara gegabah tanpa mengevaluasi kinerja kurikulum
sebelumnya (KTSP) yang baru berjalan sejak 2006.
"Sekarang
bagaimana kita mau memperbaiki kondisi pendidikan melalui kurikulum
kalau kekurangan kurikulum yang sebelumnya saja kita belum tahu, tidak
pernah ada evaluasi kurikulum yang lama?" papar dia.
Secara
tegas, Benny menuntut adanya riset mendalam dan uji coba sebelum
kurikulum diterapkan. "Jangan hanya uji publik, kita sama-sama tahu uji
publik itu hanya formalitas," tandas dia.
Ia juga menyinggung
soal kesiapan guru, yang untuk sosialisasi dan pelatihan maksimal
mustahil bisa dilakukan dalam waktu enam bulan meski pemerintah akan
menggunakan sistem pelatihan berantai, di mana akan memilih 45 ribu
untuk dilatih dan dijadikan guru master.
"Pemerintah
menyepelekan persoalan. Sebuah kurikulum itu butuh waktu untuk
disosialisasikan. Guru-gurunya harus dilatih untuk benar-benar paham isi
kurikulum seperti apa, tujuannya apa, dan waktu enam bulan itu bisa
dapat apa," kata dia.
Komentar senada disampaikan Febri Hendri,
Koordinator ICW bidang Pelayanan Publik. Menurut dia, kurikulum baru
tidak menjamin adanya perbaikan sistem pendidikan nasional secara
signifikan.
Menurut dia, buruknya sistem pendidikan nasional
terletak pada kualitas guru dan sarana-prasarananya. "Anggaran untuk
kurikulum yang ratusan miliar itu lebih baik dimaksimalkan saja untuk
perbaikan kualitas guru dan sarana prasarana pendidikan. Itu yang
darurat," tegas Febri.
Sejumlah guru, kata Febri, juga mengadukan
keluhan serupa kepada ICW. Menurut dia, guru masih bingung akan dibawa
ke mana kurikulum baru tersebut. "Implementasinya rumit, perlu waktu
untuk mempersiapkan lebih matang," cetus Febri.
Guru Instrumen Penting
Dalam
kesempatan terpisah, Mendikbud, Mohammad Nuh, menangkap kegelisahan
sejumlah pihak menjelang kelahiran kurikulum baru 2013 tersebut. Ia pun
sepakat bahwa kunci keberhasilan kurikulum tersebut berada pada kesiapan
guru. "Betul, guru sebagai instrumen pelaksana kurikulum yang sangat
penting," tegas Nuh.
Untuk alasan itu pula, mantan Rektor ITS
Surabaya itu nekat menggenjot persiapan guru dalam waktu enam bulan ke
depan. "Pembinaan dan pelatihan selama enam bulan itu cukup, dimulai
Januari hingga Juni," ungkap dia.
Sempitnya waktu akan disiasati
dengan menggunakan sistem pendekatan master teacher. Pelatihan pertama
akan diberikan pada guru yang memiliki kualitas dan kompetensi baik.
"Dilihat dari hasil UKA dan UKG, dipilih guru-guru yang nilainya tinggi.
Guru pilihan itulah yang akan membina guru lainnya," jelas Nuh.
Pembinaan
hanya akan dilakukan kepada sebagian guru yang mengampu dan mengajar di
kelas I, IV,VII, dan X. "Karena sesuai skenario sementara, penerapannya
bertahap, di tahun pertama hanya di beberapa jenjang kelas," terang
mantan Menkominfo ini.
Pendapat berbeda datang dari pengamat
pendidikan, Arief Rachman, yang juga guru besar di Universitas Negeri
Jakarta. Arief memilih untuk tidak menolak mentah-mentah rencana
perubahan kurikulum tersebut.
Menurut dia, poin terpenting dari
perubahan ini adalah masih terbukanya masukan dari masyarakat untuk
sama-sama membangun dan menyempurnakan kurikulum baru tersebut. Sebab
menurut dia, pada dasarnya kurikulum baru bisa saja menjadi tepat jika
diterapkan di kelas 1 hingga kelas 3 SD.
"Saya melihat, dengan
kurikulum baru akan meningkatkan minat belajar anak pada bidang-bidang
tertentu, seperti IPA. Sebab anak tidak dipaksa melihat sebuah mata
pelajaran secara holistik, namun lebih menyenangkan," ujar dia.
Penyederhanaan
jumlah mata pelajaran juga dinilai menjadi poin positif dari perubahan
kurikulum ini. Hanya saja, dengan sejumlah perubahan, pemerintah
diharapkan memiliki peran yang lebih besar, terutama terkait pengawasan
bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa. "Bahan ajar harus
terkontrol, apalagi setelah sejumlah kejadian adanya materi di buku-buku
pelajaran yang tidak layak masuk sekolah," imbuh dia.
Sentralisasi
bahan ajar ini, menurut Arief, perlu didukung agar dapat menjamin
pencapaian pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak. Terkait peran
guru, dinilainya pekerjaan guru juga akan menjadi lebih ringan. S sebab
guru tidak lagi diwajibkan membuat silabus mata pelajaran, dan tugas
guru hanya mengajar. "Guru memiliki ruang yang lebih leluasa untuk
mengelola bahan ajar menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk
disampaikan," jelasnya.
Dengan kurikulum baru, kata Arief, proses
pembelajaran akan menjadi satu hal penting yang harus diperhatikan
guru. Tidak lagi hanya berorientasi pada hasil-hasil Ujian Nasional dan
evaluasi akhir lainnya. "Guru diharapkan dapat mendorong anak berkembang
sesuai dengan potensi dan membentuk karakter anak shingga memiliki
minat pada pelajaran," papar Arief.
Pengembangan kurikulum 2013
merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan nasional.
Di samping kurikulum, terdapat sejumlah faktor, di antaranya lama siswa
bersekolah, lama siswa tinggal di sekolah, pembelajaran siswa aktif
berbasis kompetensi, buku pegangan, atau buku babon, dan peranan guru
sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan.
Orientasi Kurikulum
2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi
sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan amanat UU
Nomor 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35
tentang kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar
nasional yang telah disepakati.
Hal ini sejalan pula dengan
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada
tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan secara terpadu.
Pengintegrasian sejumlah mata
pelajaran sebagai akibat dari pemangkasan jumlah mata pelajaran menjadi
salah satu topik yang banyak menjadi sorotan masyarakat dalam uji publik
yang baru berakhir 23 Desember 2013 kemarin.
Terlepas dari pro
dan kontra kurikulum, pemerintah menegaskan bahwa pengembangan kurikulum
mutlak dilakukan untuk mengantisipasi tantangan zaman yang kian
kompetitif.
Semoga dengan penerapankurikulum baru dapat menjawab serta menjadi solusi permasalahan yang ada dilapangan dan dapat memperbaiki sistem serta output pendidikan di negara Indonesia...
sumber : http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/108772